Senin, 09 Februari 2009

Wakaf


Disunting dari Jurnal Fakultas Hukum Unisula

PERANAN WAKAF PADA ERA UTSMANI
DAN IMPLEMENTASINYA SEKARANG


I. Pendahuluan
Latar Belakang
Tujuan syari’ah adalah untuk kemaslahatan umat manusia
[1]. Segala apa yang diperintahkan, apa yang dilarang, dan apa yang ditunjukkan oleh agama, seluruhnya dimaksudkan untuk kepentingan, kebaikan dan kemaslahatan umat manusia. Tidak satu-pun ajaran Islam dimaksudkan untuk memberatkan atau menyulitkan dan bahkan menyiksa umat manusia. Boleh jadi, di dalam mengerjakan perintah atau meninggalkan larangan dirasa berat dan menyulitkan, tetapi bisa dipastikan hasil yang akan diterima justeru memberikan kemaslahatan dan kemanfaatan bagi yang bersangkutan.
Salah satu yang disyariatkan Islam adalah wakaf. Pensyariatan wakaf tidak lepas dari tujuan umum syariat, yaitu untuk kemaslahatan umat manusia. Sedekah konsumtif yang habis sekali pakai saja dinilai sebagai suatu kebajikan, apalagi wakaf yang tidak habis sekali pakai. Esensi wakaf terletak pada kelanggengan manfaat benda wakaf. Kelanggengan manfaat yang diberikan benda wakaf menjadikan wa-kaf disebut sedekah jariyah, yaitu sedekah yang memberikan pahala terus menerus mengalir. Konsekuensi logis dari kelanggengan manfaat itu, benda yang diwakafkan harus mampu bertahan lama, seperti tanah, dan benda yang diwakafkan secara terus menerus memberikan manfaat secara nyata tanpa putus. Adalah suatu ketidakwajaran, mengharapkan pahala tanpa putus dengan mewakafkan benda yang hanya mampu bertahan dalam waktu singkat dan hanya memberikan manfaat sesaat.
Dalam era modern sekarang ini, apakah benda wakaf disyaratkan harus mampu bertahan lama seperti yang selama ini berlaku. Kalau substansi wakaf adalah memberikan atau meningkatkan kesejahteraan umat, apakah tidak mungkin mewa-kafkan uang tunai umpamanya. Berangkat dari latar belakang itu, tulisan ini berbi-cara tentang Peran Wakaf Pada Era Utsmani dan Implementasinya Sekarang. Penulisan dengan menggunakan sistematika, pertama dibicarakan tentang wakaf dalam kajian fikih, pengelolaan wakaf, kemudian dilanjutkan dengan peran wakaf pada era Turki Utsmani, dan implementasinya sekarang. Implementasi dalam bentuk pendayagunaan tanah wakaf di Timur Tengah dan di Indonesia. Pendayagu-naan tanah wakaf di Indonesia dengan mengambil sampel implementasi tanah wakaf oleh Muhammadiyah Kota Semarang. Kemudian dilanjutkan dengan menying-gung kemungkinan wakaf uang tunai, dan ditutup dengan kesimpulan.
B. Permasalahan
Setelah mencermati latar belakang maka dapat memuncul sebuah permasalahan yaitu : Bagaimana peranan wakaf pada era utsmani dan memperoleh implementasi yang baik pada zaman sekarang ini ?




II. Pembahasan
Wakaf Dalam Fikih
1. Pengertian Wakaf
Menurut etimologi, Ibn Manzur (1968) menyepadankan kata waqafa (وقف) dengan kata habasa (حبس). Dalam bahasa Indonesia kata habasa diterjemahkan dengan kata “menahan” atau “memenjarakan”, sedangkan kata waqafa diterje-mahkan dengan kata “menahan sesuatu”. Padanan kata waqafa dengan kata habasa digunakan Rasulullah saw dalam sabda beliau kepada Umar bin Khattab: إنْ شِــئتَ حبَسْــتَ أصـلهَا و تصــدّقْتَ بها (Jika kau menghendaki, kau tahan pokoknya dan sedekahkan hasilnya)
[2].
Menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan pe-ngertian wakaf sesuai dengan pandangan mereka tentang lazim-tidaknya wakaf.
a. Abu Hanifah dan Malik
Wakaf ialah menahan barang milik wāqif dan menyedekahkan hasil barang tersebut Pengertian menurut dua imam itu sama, tetapi antara keduanya ada perbedaan yang cukup signifikan.
1) Abu Hanifah berpendapat bahwa akad wakaf ghair lāzim, tidak lazim. Makna lazim adalah tidak boleh ditasarufkan, yaitu tidak diperjualbelikan, dihibahkan, diwariskan dan sejenisnya oleh pihak wāqif atau mauqūf ‘alaih atau pula nadzir. Menurut Abu Hanifah, benda wakaf tetap berada dalam kepemilikan wāqif sehingga ia masih memiliki kewenangan untuk mentasarufkan, seperti menarik benda wāqif dari perwakafan dan kemudi-an memperjualbelikannya atau memberikannya kepada seseorang atau pula mewariskannya kepada ahli warisnya
[3]
Wakaf menjadi lazim menurut Abu Hanifah disebabkan oleh tiga hal, yaitu a) berdasarkan keputusan pengadilan, b) wakaf masjid, dan c) wasiat
[4]
2) Imam Malik berpendapat bahwa barang yang diwakafkan masih tetap berada dalam kepemilikan wāqif. Tetapi kepemilikannya bersifat taqdiri (simbolik), bukan haqiqi, sehingga wāqif tidak lagi memiliki kewenangan untuk mentasarufkannya
[5] Dengan demikian menurut Imam Malik akad wakaf itu lazim, walaupun menurut beliau kepemilikan benda wakaf tetap berada di tangan wāqif.
b. Imam Ahmad
Wakaf adalah menahan ain (barang) milik mauqūf ‘alaih
[6]. Al-Mughni menggunakan redaksi تحبيس الأصل وتسبيل الثمرة (tahbīs al-asli wa tasbīl al-tsamrah). Esensi batasan ini sama sebangun dengan hadis Umar di atas. Artinya, kepemilikan benda wakaf sudah lepas dari wāqif. Perpindahan kepemilikan benda wakaf dari wāqif kepada mauqūf ‘alaih menurut Ibn Qudamah merupakan “zāhir madzhab”. Ibn Qudamah menegaskan, Imam Ahmad mengatakan: “Apabila seseorang mewakafkan rumah kepada keponakannya, maka rumah menjadi milik keponakan”. Ini menunjukkan kepemilikan pindah kepada mauqūf ‘alaih.[7]
c. Abu Yusuf dan Muhammad (dua orang sahabat/murid Abu Hanifah)
Wakaf adalah menahan benda (barang) atas dasar milik Allah. Kepemi-likan benda wakaf berpindah dari wāqif ‘anhu kepada Allah dan kemanfaatan-nya untuk kepentingan umat. Menurut mereka berdua, bahwa wakaf itu lazim, tidak diperjualbelikan, atau diberikan, atau diwariskan.
[8]
d. Imam Syafi’i
Wakaf adalah menahan harta benda yang memungkinkan untuk dimanfa-atkan secara permanen dengan ketentuan wāqif tidak lagi memiliki hak tasa-ruf
[9] Pengertian menurut Imam Syafi’i itu seca-ra tegas menetapkan wāqif tidak dibenarkan mentasarufkan harta benda yang sudah diwakafkan. Hal ini berarti bahwa ia tidak boleh menarik benda wakaf, memperjualbelikan atau menghibahkannya dan atau pula mewariskannya.
Definisi-definisi di atas selain milik Abu Hanifah diketahui, bahwa wakaf adalah akad lazim. Artinya tidak boleh diperjualbelikan, dihibahkan, dan diwaris-kan, baik oleh wāqif maupun oleh nadzir atau pihak lain. Faktor lazim dan tidak-nya wakaf sangat penting, karena berpengaruh pada pelaksanaan praktik wakaf. Kalau tidak lazim sama halnya tidak ada wakaf, karena wakaf adalah menahan benda yang diwakafkan dari peredaran, tidak bisa ditasarufkan. Dengan demikian, definisi wakaf meminjam rumusan Sayid Sabiq
[10], adalah manahan harta benda dan menggunakan kemanfaatannya di jalan Allah.
Dari pemaparan berbagai definisi di atas perlu di cermati dan dapat disimpulkan bahwa :
a. Wakaf merupakan akad lazim. Artinya, tidak diperjualbelikan, dihibahkan dan diwaris, baik oleh wāqif maupun oleh nadzir.
b. Barang atau benda wakaf harus bersifat permanen atau mampu bertahan lama, tidak habis setiap kali pakai.
c. Tujuan wakaf adalah memberi manfaat/hasil bagi mauqūf ‘alaih.
Dasar Pensyari’atan Wakaf
1. Al-Qur’an
Ali Imran 92
لنْ تنالوا البرّ حتى تـُنفِـقـوا ممّا تحُبِّّون وما تـُنفِـقـوا من شئ ﻔﺈنّ اللهَ به عليمٌ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”
[11]
Al-Baqarah: 267
ﻳﺂﺃيها الذين ﺁﻤنوا اَنفِـقوا مِنْ طيباتٍ ما كسَـبْتم وممّا اَخْرجْنا لكُم مِنَ اﻷرْضِ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu …”
[12]
Dua ayat di atas secara umum memerintahkan untuk menafkahkan harta benda untuk kebaikan di jalan Allah, tidak secara tegas memerintahkan wa-kaf. Kendati demikian, wakaf berdasarkan pengertian di muka masuk dalam makna dua ayat tersebut, karena harta benda yang diwakafkan disyaratkan harus memberikan manfaat bagi kepentingan umat. Hanya saja dalam dua ayat tersebut tidak ada qarinah yang mengisyaratkan bahwa sesuatu yang dinafkahkan bersifat permanen, tidak habis sekali pakai.
2. Al-Sunnah
a. Hadis riwayat Muslim :
عن ﺃبي هـريرة رض ﺃنّ النبي صلّى اللهُ عليه وسلّم قال: إذا ماتَ ابنُ ﺁدمَ انقَطَع َعنْهُ عمَلُهُ ﺇلا مِنْ ثلاث ٍ : صَدقَةٍ جارية ﺃﻮ عِلْمٍ يُنـتـفَعُ به ﺃو ولَدٍ صالحٍ يدعو له. رواه مسـلم
“Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amal perbuatannya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak salih yang mendoakan untuknya”.
Para ulama menginterpretasikan sadaqah jariyah sebagai wakaf.
Hadis Muttafaq ‘alaih:
عن ابن عمـر رض قال: أصاب عمـر أرضا بخيبر فأتى النبى صلعم يسـتأمِره فيها فقال: يارسـولَ اللـه إنيّ أُصِبْتُ أرضا بخيبر لم أُصِبْ مالا قط هو أنفس عندي منه، فقال: إنْ شِــئتَ حبَسْــتَ أصـلهَا و تصــدّقْتَ بها، قال: فَتصَـدّق بها عمـرُ وأنه لا يُباعُ أصـلهُا ولايوُرَث ولايوهَـبُ فتصَــدّق بها فى الفقــراء وفى القربى وفى الرقاب وفى سـبيل اللــه وابن السـبيل والضـيف لاجناح على من وليها أن يأكل منها بالمعروف أو يطعم صـديقا غير متموّل مالآ. متفق عليه
"Umar bin Khattab mempunyai sebidang tanah di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi untuk meminta nasehat tentang harta itu seraya berkata: “Ya Rasulallah, sesungguhnya aku telah mendapat sebidang tanah di Khaibar yang aku belum pernah memperoleh tanah seperti itu”. Rasulullah saw berkata: “Jika engkau menginginkan, kau tahan (habasta = waqafta) pokoknya dan kau sedekahkan hasilnya”. Ibnu Umar berkata: “Umar kemudian mewakafkan harta itu, dan sesungguhnya harta itu tidak diperju-albelikan, tidak diwariskan dan tidak dihibahkan. Umar menyedekahkan hasil harta itu untuk orang fakir, kerabat, budak, jalan Allah, orang jalanan (terlantar), dan tamu. Tidak berdosa orang yang mengurusinya (nadzir) memakan sebagian dari hasil harta itu secara makruf (pantas) atau memberi makan teman yang tidak bermaksud mencari kekayaan."
Hadis pertama sudah menunjuk secara spesifik makna wakaf, dan hadis kedua memerinci wakaf lebih jelas lagi. Bahkan, hadis kedua menyebut esensi wakaf, yaitu menyedekahkan hasil untuk kepentingan fakir miskin dan mereka yang membutuhkannya.
Berdasarkan adillah naqliyah di atas dapat disimpulkan bahwa wakaf adalah syar’iy. Artinya, disyariatkan oleh agama Islam, bukan produk pemikiran manusia. Kendati demikian, masih ada sebagian fuqaha yang menolak syariat wakaf. Tetapi mereka mengakui bahwa bangunan masjid dan tanahnya merupakan bentuk wakaf.
3. Rukun Wakaf
a. Wāqif (orang yang mewakafkan)
b. Mauqūf (barang/benda yang diwakafkan)
c. Mauqūf ‘alaih (sasaran atau tujuan wakaf)
d. Sīghah (ijab-qabul, ikrar wakaf)
Dalam pelaksanaan wakaf tidak diperlukan qabul, karena wakaf termasuk akad tabarru’, sebagian ulama menyebutnya akad isqāt.
4. Syarat Perwakafan
a. Syarat Wāqif
1) Wāqif memiliki ahliyah al-adā’ al-kāmilah (kemampuan berbuat secara penuh), yaitu dewasa dan berakal sehat.
2) Wāqif tidak dalam keadaan sedang dililit hutang.
b. Syarat Mauqūf
1) Mampu bertahan lama, tidak habis sekali pakai.
2) Memiliki nilai ekonomi, laku untuk diperjualbelikan.
3) Memberikan manfaat bagi kemaslahatan mauqūf ‘alaih
4) Berasal dari hak-milik wāqif secara penuh (milk tamm).
c. Syarat Mauqūf ‘alaih
Mauqūf ‘alaih ada dua macam, yaitu tertentu dan tidak tertentu (umum). Mauqūf ‘alaih tertentu disyaratkan harus orang yang berkeahlian untuk memiliki dan pantas untuk menerima pemberian.
1) Al-Jauziyah
[13] secara tegas menolak manfaat dan hasil wakaf diberikan kepada orang kaya (berkecukupan). Apabila wāqif menetapkan syarat wakafnya diperuntukkan bagi orang-orang kaya, bukan untuk orang-orang miskin, maka syarat tersebut batal.
2) Imam Taqyuddin, wakaf yang rajih adalah ditujukan kepada orang-orang fakir, karena sasaran wakaf sama halnya dengan sasaran sedekah.
3) Ahmad al-Kubaisi
[14], syarat pokok yang harus terpenuhi pada mauqūf ‘alaih adalah, bahwa wakaf diarahkan untuk kebaikan dalam rangka qurbah (pendekatan diri) kepada Allah swt.
Syarat-syarat yang dikemukakan di atas menunjukkan substansi tujuan dan sasaran wakaf. Wāqif ikut berperan menentukan keberhasilan pendaya-gunaan tanah wakaf. Apabila wakaf ditujukan untuk umum, maka pihak pertama dan utama yang berhak memperoleh hasil dan manfaat wakaf adalah fakir, miskin dan dlu’afa. Mereka itulah mauqūf ‘alaih sejati.
d. Syarat Sīghah
1) Tanjiz
2) Ta’bid
3) Tunai/kontan
4) Menggunakan kata yang menunjukkan arti wakaf
5) Tidak disertai syarat khiyar dan syarat lain yang berpengaruh pada esensi wakaf.
e. Syarat Yang Ditetapkan Wāqif
Wāqif dibenarkan menetapkan syarat sebagai berikut:
1) Penambahan dan pengurangan
2) Pengutamaan dan pengkhususan
3) Pemasukan dan pengeluaran
4) Penukaran dan penggantian
5) Pemberian dan penolakan
Syarat yang ditetapkan wāqif harus dipatuhi oleh nadzir selama tidak bertentangan dengan syari’at atau nash.
Pengelolaan Wakaf
Perseorangan atau kelompok orang (berbadan hukum) yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengelolaan harta wakaf disebut nadzir. Setelah ikrar wakaf dilaksanakan, pengelolaan harta wakaf berada di tangan nadzir.
1. Nadzir
a. Syarat Nadzir
Al-Kubaisi
[15] berpendapat bahwa syarat untuk menjadi nadzir adalah memiliki al-ahliyah al-kāmilah (dewasa dan berakal), al-amīn (credible), dan al-qādir (capable) ‘ala al-tasarruf bi umūrihi. Al-Ghazali[16] menetapkan dua syarat untuk nadzir, yaitu al-amānah (credible) dan al-kifāyah (capable).
b. Kewenangan Nadzir
Menurut al-Marghinani
[17], nadzir adalah pihak yang memperoleh kewe-nangan atas harta wakaf dari pihak wāqif dengan syarat-syarat yang ditetapkan. Dalam kaitan ini, nadzir berkedudukan sebagai wakil wāqif sehingga memiliki kewenangan atas harta wakaf sesuai dengan amanah yang diberikan kepadanya. Di sisi lain, nadzir berkedudukan sebagai wakil mauqūf ‘alaih. Wakaf boleh diserahkan kepada nadzir dalam kapasitasnya sebagai wakil mauqūf ‘alaih. Dalam kedudukan ganda ini, nadzir memikul tanggungjawab, yaitu di satu sisi dia harus memenuhi kepen-tingan-kepentingan mauqūf ‘alaih, dan di sisi lain dia harus mengamankan kepentingan wāqif.
Untuk bisa memenuhi dua kepentingan sekaligus, nadzir harus diberi kewenangan luas tetapi terbatas. Kewenangan luas merupakan suatu tuntutan untuk bisa mengoptimalkan pendayagunaan harta wakaf bagi kemaslahatan mauqūf ‘alaih. Abu Hamid al-Ghazali
[18] menyebutkan bahwa kewenangan nadzir adalah memfungsikan harta wakaf seoptimal mungkin. Kewenangan nadzir dalam menyewakan tanah wakaf umpamanya, menurut al-Kubaisi[19] adalah kewenangan penuh. Kewenangan penuh itu meliputi penetapan besarnya harga sewa, pembatasan waktu sewa, dan penggantian penyewa.
Kewenangan luas yang dimiliki nadzir dalam mengoptimalkan pendaya-gunaan harta wakaf dibatasi oleh syarat (peruntukan) yang ditetapkan wāqif dalam akta ikrar wakaf. Nadzir dalam kapasitasnya sebagai wakil wāqif terikat oleh ketentuan yang dibuat wāqif.
2. Perubahan Tanah Wakaf
a. Mālikiyah
Tanah wakaf secara mutlak tidak boleh dijual walaupun mengalami kerusakan. Tanah wakaf peninggalan orang-orang terdahulu yang sampai sekarang masih terpelihara membuktikan adanya larangan penjualan tanah wakaf. Dalam keadaan yang sangat darurat, diperbolehkan penjualan tanah wakaf, seperti tanah wakaf masjid yang terkena proyek pelebaran jalan umum. Tanah tersebut dijual dan kemudian dibelikan tanah lagi untuk pembangunan masjid baru sebagai ganti masjid lama.
b. Syāfi’iyah
Dilarang keras melakukan perubahan dan penukaran tanah wakaf. Penukaran dan perubahan tanah wakaf akan membukakan jalan kepada penghapusan tujuan wakaf.
c. Imāmiyah
Sama seperti pendapat Syāfi’iyah, hanya saja benda/tanah wakaf boleh dilakukan perubahan atau penukaran dengan syarat adanya kekhawatiran dari pihak mauqūf ‘alaih akan terjadinya kerusakan pada benda/tanah wakaf.
d. Hanābilah
Esensi wakaf adalah melestarikan manfaat benda/tanah wakaf. Substansi wakaf terletak pada manfaat, bukan pada jenis dan bentuk benda/tanah wakaf
[20]. Atas dasar prinsip ini dibolehkan penjualan atau penukaran tanah wakaf selama tanah tersebut sudah tidak memberikan manfaat. Hanābilah berpegang asas maslahah sebagai alasan utama pembolehan penukaran benda/tanah wakaf.
e. Hanafiyah
Perubahan dan penukaran tanah wakaf bisa terjadi karena dua hal:
i. Perubahan dan atau penukaran disyaratkan oleh wāqif dalam ikrar wakaf. Kedua, perubahan dan atau penukaran disebabkan oleh keadaan yang menghendakinya.
Dalam kasus pertama, perubahan atau penukaran dinilai sah karena tidak meniadakan kelaziman dan kelestarian wakaf. Ibnu al-Hamam
[21] mengatakan: الوقف يقبل الإنتقال من أرض الى أرض (Wakaf menerima perpindahan dari tanah ke tanah). Sedang dalam kasus kedua, Ibn al-Hamam berpendapat tanah wakaf yang sudah tidak memberikan manfaat, bisa dijual dan dibelikan tanah lain yang memberikan manfaat.
Pendapat lima imam madzhab di atas bisa diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, Mālikiyah, Syāfi’iyah dan Imāmiyah menolak perubahan atau penukar-an tanah wakaf, kecuali dalam keadaan yang amat sangat memaksa (darurat). Kedua, Hanābilah dan Hanafiyah menerima kenyataan di lapangan dan menga-cu kepada tujuan dan fungsi wakaf sehingga mereka membolehkan perubahan atau penukaran tanah wakaf guna keeralahatan wāqif dan mauqūf ‘alaih.
Perubahan atau penukaran tanah wakaf mempertaruhkan kredibilitas dan kapabilitas nadzir. Nadzir dituntut bertanggungjawab dalam memenuhi kepen-tingan mauqūf ‘alaih dan juga mengamankan/ melindungi kepentingan wāqif.
3. Peran Wakaf Pada Era Turki Utsmani
Wakaf, seperti halnya zakat, merupakan ibadah yang langsung menyentuh pemenuhan kebutuhan pisik material dan mental spiritual umat Islam. Tidak berlebihan dikatakan bahwa wakaf adalah ajaran Islam yang memiliki nilai tinggi dalam kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan umat.
Hampir semua tanah taklukan pada abad ke-14 dan ke-15 didistribusikan oleh Kerajaan Utsmani sebagai timar kepada personal militer dan pejabat pemerintah. Pada awalnya, tanah-tanah timar ini adalah amanah yang dipegang oleh si pemilik tanah. Tanah-tanah tersebut tidak dapat dipindah kepemilikannya. Kelanjutan kepemilikan bersifat kondisional bergantung pada pelayanan dan dapat dihapuskan atau digantikan dengan pensiun. Namun bersamaan dengan melemahnya pemerintah pusat pada era pemerintahan Utsmani belakangan, tanah-tanah timar tersebut mulai dianggap sebagai kekayaan pribadi. Sebagian besar tanah-tanah taklukan dimiliki oleh kaum bangsawan di mana pajaknya masuk ke kantong mereka, sehingga menjauhkan negara dari pemasukan dan dari layanan militer yang pada awalnya merupakan suatu persyaratan bagi timar. Keseluruhan proses feodalisasi ini memakan waktu berabad-abad lamanya untuk menyempurnakan diri. Namun, itu terjadi terutama setelah dikuasainya negara-negara muslim oleh kekuatan Barat yang memberikan sejumlah besar tanah kepada mereka yang mau berkolaborasi dengan mereka dan membantu melanggengkan kekuasaannya. Sejumlah besar tanah pertanian dalam dunia muslim kini dimiliki oleh tuan-tuan tanah yang sangat berkuasa yang mengeruk sebagian besar output pertanian untuk dirinya sendiri, sehingga menyisakan sangat sedikit bagi para penggarap tanah. Tuan-tuan tanah ini nyaris tidak membayar pajak, tetapi mereka memiliki pengaruh politik yang besar
[22].
Pemerintah Utsmani tidak memberikan perhatian terhadap lembaga wakaf. Hal itu terbukti bahwa tanah-tanah taklukan dibagi-bagikan kepada militer dan pejabat, bukan seperti yang dilakukan Umar bin Khattab terhadap tanah Khaibar. Setelah Kerajaan Turki Utsmani mengalami kemerosotan hampir di segala bidang, terutama bidang pendidikan akibat kekurangan dana negara, maka kemerosotan peran negara telah memindahkan beban pendidikan kepada pundak sektor swasta. Ini dapat dilakukan pada umumnya lewat wakaf, yang dibangun untuk mendukung madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan tinggi lain, sepertii yang diberikan untuk pelayanan publik, umpamanya pembagunan dan pengelolaan masjid, asrama untuk mahasiswa dan penginapan bagi para musafir, jembatan, sumur, jalan-jalan, dan rumah sakit-rumah sakit. Wakaf ini mengalami perkembangan yang cukup tinggi pada era Turki Utsmani. Wakaf-wakaf diatur dengan baik dan beroperasi di bawah pengawasan resmi yang ketat. Toko-toko dan bazar juga dibangun dengan wakaf yang berfungsi sebagai sumber pemasukan bagi kegiatan-kegiatan pendidikan, agama, dan kebajikan lain.
Dalam perjalanannya, wakaf menjadi lengket dengan kegiatan-kegiatan keagamaan pada abad-abad belakangan karena didasarkan pada kepercayaan bahwa hanya inilah yang akan membantu seseorang mendapatkan pahala di akhirat. Akibat yang tragis adalah wakaf tidak lagi mendukung pendidikan ilmu pengetahuan, dan pendidikan madrasah sendiri berubah menjadi hanya hafalan dan penerimaan teks-teks kuno tanpa reserve dan hal itu tidak ada hubungannya dengan realitas yang sedang berlaku.
Semangat sektor swasta dalam pendidikan tidak meningkat. Di sisi lain, sektor swasta menghadapi problem ekonomi yang cukup berat, lemahnya dukungan peme-rintah, dan lebih lagi salah penggunaan harta wakaf untuk kepentingan pribadi, me-ngakibatkan tidak meningkatnya dana untuk tujuan ini. Pada akhirnya, sektor swas-ta tidak mampu lagi menghasilkan sumber dana yang cukup untuk menyebarluaskan melek huruf dan pendidikan agama secara umum di kalangan rakyat, apalagi membangun unversitas dan pusat-pusat penelitian
[23].
Yang perlu dicatat dalam era Turki Utsmani adalah bahwa kaum wanita tetap dapat memiliki kekayaan, di mana suami tidak berhak untuk menyentuhnya. Kaum wanita membangun “yayasan wakaf” untuk mendukung pendidikan dan aktivitas-aktivitas kebajikan lainnya. Hal ini menunjukkan kepemilikan mereka terhadap kekayaan. Kontribusi wanita menurut Roded (dalam Chapra, 2001: 196) dalam harta wakaf mencapai 41%. Fakta ini menunjukkan bahwa semangat berwakaf pada era Turki Utsmani tidak dimonopoli oleh kaun pria saja, tetapi juga kaum wanita tidak mau ketinggalan. Hal itu terjadi karena kaum wanita memiliki hak pemilikan secara penuh.
Wakaf, terlepas dari plus minus pengelolaannya, diakui memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kemaslahatan umat. Di saat negara mengalami kebangkrutan, institusi wakaf ini tanpa diminta ikut turun tangan memenuhi panggilan melalui filantropi-filantropi, seperti membangun sekolah, rumah sakit, dan pasar serta menjamin adanya sejumlah barang dan pelayanan publik. Dengan demikian, wakaf memegang peranan yang sungguh sangat strategis dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umat sebagai sasaran utamanya.
Sebagai bukti bahwa institusi wakaf itu ada pada era Turki Utsmani adalah ditemukannya dokumen bersejarah yang dibuat pada era Mamalik di Mesir. Dokumen itu adalah حجة وقف مستشفى قلاوون . Dokumen ini berisi tentang ikrar wakaf oleh wāqif, batas-batas dan persyaratan yang ditetapkan wāqif, saksi orang-orang Islam yang adil, dan siapa yang bertanggungjawab dalam pengelolaan wakaf (nadzir)
[24].
4. Implementasi Wakaf Sekarang
a. Timur Tengah
Implementasi wakaf di Irak yang dikelola oleh badan yang disebut Dewan al-Awqaf (pada tahun 1974 dinegerikan menjadi Departemen Wakaf) membuktikan kebenaran pernyataan di atas. Dewan al-Awqaf bertindak sebagai nadzir yang mengelola aset wakaf yang ada di seluruh wilayah Irak, antara lain berupa lahan pertanian, perkebunan, pertokoan, pasar dengan kios-kiosnya, apartemen, villa, rumah, hotel, gedung pertemuan, masjid, sekolah, universitas, asrama pelajar dan mahasiswa, panti asuhan, dan rumah sakit.
Ibn Taimiyah (1329 H: 29) menyebutkan tanah wakaf di Irak berasal dari peninggalan Kalifah Umar bin Khattab. Tanah-tanah tersebut kemudian didaya-gunakan oleh Dewan al-Awqaf sehingga tampak berhasil seperti kondisi dan keadaan sebelum pemboman tentara Amerika dan sekutunya terhadap Irak (1991). Hasil pendayagunaan tanah wakaf di Irak diperuntukkan bagi kemasla-hatan masyarakat, terutama mereka yang membutuhkan, seperti pemberian beasiswa kepada pelajar dan mahasiswa (dalam dan luar negeri) yang belajar di lembaga pendidikan milik Dewan al-Awqaf; pemberian tunjangan bulanan kepada para imam shalat fardlu, khatib jum’ah, muadzin masjid dan mushalla, dan guru-guru pendidikan non formal; pemberian gaji kepada pengurus takmir, pegawai/karyawan, guru, dosen dan pengurus dewan; tunjangan kepada anak yatim dan lanjut usia, dan pengobatan gratis untuk siapa saja.
Demikian halnya yang terjadi di Mesir. Dewan al-Awqaf Mesir cukup kuat dan mampu mendanai biaya operasional (rutin) dan biaya pembangunan lembaga pendidikan Islam yang sangat terkenal yaitu Universitas al-Azhar dengan 21 (dua puluh satu) fakultas yang tersebar di pelbagai kota, termasuk pemberian beasiswa kepada puluhan ribu mahasiswa asing yang belajar di al-Azhar dengan berikut tempat tinggal mereka yang dikenal dengan nama Madīnah al-Bu’ūts al-Islāmiyah.
b. Indonesia
Di Indonesia, dewan yang secara khusus bertindak sebagai nadzir seperti di Irak dan Mesir, belum ada. Wāqif (orang yang mewakafkan) biasanya menunjuk nadzir yang dipercayainya untuk mengelola harta benda yang diwakafkan. Nadzir bisa perorangan dan bisa juga badan/lembaga. Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa “nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf”. Nadzir perorangan bisa berasal dari kyai, tokoh masyarakat, atau bahkan orang biasa. Sedangkan nadzir yang berbentuk badan/lembaga harus memenuhi peraturan dan ketentuan yang berlaku sehingga bisa disebut badan hukum, seperti NU, Muhammadiyah, al-Irsyad, al-Washliyah, dll.
Di antara badan hukum yang sudah terdaftar sebagai nadzir di Kantor Departemen Agama (Kandepag) Kota Semarang adalah NU dan Muhammadi-yah. Dua organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia itu memiliki hak kewenangan menjadi nadzir di seluruh wilayah kesatuan negara Republik Indonesia. Karena itu, untuk kelancaran pelaksanaan tugas teknis operasional dalam pengelolaan benda wakaf, NU membentuk Lajnah Waqfiyah dan Muhammadiyah membentuk Majlis Wakaf dan Kehartabendaan. Keberadaan dua lembaga yang bernaung di bawah masing-masing induk organisasi mulai dari pusat sampai di tingkat kecamatan yang secara langsung menangani hal-hal yang terkait dengan perwakafan.
Keadaan tanah wakaf di Kota Semarang sampai bulan Nopember 1999 tercatat ada 1.734 bidang dengan luas 755.246,64 M². Dari jumlah yang ada itu, baru 937 bidang (54%) dengan luas 412.979 M² (54,68%) yang sudah bersertifikat. Sisanya, yaitu 46% bidang belum bersertifikat, karena berbagai hambatan dan alasan lain. Tanah wakaf yang berada di bawah Lajnah Waqfiyah Pengurus Cabang Nahdlatul ‘Ulama (PCNU) Kota Semarang sebanyak 181 bidang atau 10,44% dari jumlah bidang tanah wakaf di Kota Semarang dengan luas 65.582 M² atau 8,68% dari jumlah luas tanah wakaf. Seluruh tanah wakaf yang sudah bersertifikat yang berada di bawah Lajnah Waqfiyah PCNU Kota Semarang menggunakan nadzir perorangan atas nama Lajnah Waqfiyah. Karena itu, PCNU tidak memiliki kewenangan penuh mengelola tanah wakaf yang terdaftar di Lajnah Waqfiyah PCNU Kota Semarang. Sedang tanah wakaf yang berada di bawah Majlis Wakaf dan Kehartabendaan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Semarang sebanyak 71 bidang atau 4,10% dari jumlah bidang tanah wakaf yang ada di Kota Semarang dengan luas 95.744 M² atau 12,68% dari luas tanah wakaf yang ada. Seluruh tanah wakaf yang sudah bersertifikat di bawah Majlis Wakaf menggunakan nama organisasi sehingga PDM Kota Semarang berwenang penuh mengelola dan mendayagunakannya.
Nadzir di Kota Semarang menerima tanah dari wāqif dengan status beranekaragam, ada yang berstatus hak milik (HM), hak pakai (HP), hak guna bangunan (HGB), Letter C, Letter D, dan ada pula yang berstatus tanah negara. Di samping itu, ada beberapa orang yang menyerahkan tanah bereralah untuk dijadikan tanah wakaf, seperti tanah yang diserahkan oleh H. Ibrahim atas nama Ir. Shalahuddin sebidang tanah seluas 6.600 M² (berdiri di atasnya perumahan perwira AD) terletak di sebelah Wihara Watugong kepada PDM Kota Semarang. Setelah melalui perjuangan yang melelahkan, Kodam bersedia menggantinya dengan sebidang tanah di Jalan Siwarak dengan luas 10.000 M². Pelaksanaan serah terima tanah penggantian tersebut sampai akhir tahun 1999 belum terealisasi karena belum turun Surat Keputusan (Skep) Kepala Staf Angkatan Darat.
Kondisi pisik tanah yang diwakafkan juga bermacam-macam, sebagian dalam kondisi kosong, tidak ada bangunan dan tidak pula ada tanaman, bahkan bisa disebut tanah terlantar. Sebagian besar tanah wakaf dalam kondisi sudah ada bangunan tempat ibadah, seperti masjid, mushalla dan langgar, karena perwakafan dilakukan setelah berdiri bangunan tersebut. Sebagian kecil dalam kondisi sawah atau tegalan. Rata-rata tanah wakaf yang diterima nadzir bukan tanah produktif. Artinya, tanah dalam keadaan tidak ada tanaman atau bangunan yang memberikan manfaat atau hasil secara langsung kepada sasaran wakaf.
Ditinjau dari tujuan, sebagian besar tanah diwakafkan untuk gedung pendidikan, untuk tempat ibadah, dan untuk kepentingan sosial, seperti panti asuhan dan klinik/balai pengobatan. Sangat jarang sekali wāqif menyertakan dana guna membangun sarana sesuai dengan tujuan pewakafannya. Contoh pertama, ada seorang akan mewakafkan tanah seluas 200 M² terletak di Jalan Mataram Semarang dengan maksud supaya didirikan sebuah sekolah unggulan. Calon wāqif tidak menyertakan dana untuk merealisasikan maksudnya itu. Contoh kedua, ada seorang simpatisan pada bulan Ramadlan 1418 H mewakafkan tanah seluas 900 M² kepada PDM Kota Semarang melalui PCM Kecamatan Genuk dengan maksud untuk balai pengobatan. PDM yang ditunjuk sebagai calon nadzir untuk contoh pertama tidak bersedia menerimanya karena tanpa ada dana yang disediakan sedangkan persyaratan yang diminta terlalu berat. Begitu pula untuk contoh kedua PDM belum mampu merealisasikannya karena tidak tersedianya dana. Tanah tersebut menjadi terlantar dan tidak fungsional sehingga tidak memberi manfaat sesuai dengan tujuan wakaf. Tanah wakaf un-tuk bisa fungsional sebenarnya tidak hanya ditentukan oleh faktor strategis, tetapi juga oleh faktor dana dan sumber daya manusia, termasuk nadzir itu sendiri.
Fenomena penyerahan tanah wakaf yang dijelaskan di atas mengindikasikan bahwa sebagian besar wāqif hanya bermodalkan niat baik mewakafkan tanah tanpa berfikir bagaimana supaya tanah tersebut bisa berdayaguna bagi kemaslahatan umat. Di pihak lain, perorangan atau badan hukum yang bertindak sebagai nadzir dengan keterbatasan tenaga dan dana, merasa berat merealisasi-kan pendayagunaan tanah wakaf sesuai dengan keinginan wāqif. Di samping itu, nadzir dalam melaksanakan tugas kewajibannya mengelola tanah wakaf semata-mata didasari niat “ibadah” dengan pemahaman sempit, yaitu “seikhlas-nya”. Dengan pemahaman seperti itu bisa diduga hasil kerja yang dilakukannya dalam mengelola tanah wakaf. Pada awalnya dilakukan secara sambilan, kemudian selanjutnya berubah menjadi sambil lalu. Fenomena ini sangat jauh berbeda dengan yang terjadi di Irak maupun di Mesir, di mana harta benda yang diwakafkan sejak awal sudah fungsional, dan nadzir betul-betul melaksanakan fungsinya sebagai pengelola wakaf secara profesional.
Implementasi Wakaf Oleh PDM Kota Semarang
1. Muhammadiyah Sebagai Nadzir
Wakaf berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang kurang mampu (dlu’afa). Karena wakaf seperti halnya zakat merupakan bentuk ibadah yang memiliki dimensi sosial dan secara langsung menyentuh kepentingan masyarakat sehingga tepat disebut sebagai ‘ibādah ijtimā’iyyah, yaitu ibadah yang memiliki nilai sosial. Untuk mencapai sasaran itu diperlukan upaya pengelo-laan secara tepat dan profesional.
Berdasarkan SK Mendagri No. SK/14/DDA/1972 tanggal 10 Pebruari 1972 tentang Penunjukan Persyerikatan Muhammadiyah Sebagai Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Tanah Dengan Hak Milik dan PP No. 28 Th. 1977, Muham-madiyah berhak untuk menjadi nadzir harta wakaf. Sehubungan dengan peranan ini, masyarakat muslim menaruh harapan besar kepada Muhammadiyah untuk mendayagunakan harta wakaf yang berada di bawah kenadzirannya sehingga mencapai sasaran yang dikehendaki agama, yaitu kesejahteraan lahir batin bagi mauqūf ‘alaih (fakir, miskin dan dlu’afa).
2. Kondisi Tanah Wakaf
Tanah wakaf PDM Majlis Wakaf dan Kehartabendaan sebanyak 71 bidang per 31 Desember 1999 dengan luas 95.744 M². Tanah tersebut berasal dari wakaf 34 bidang (47,89%), hibah 7 bidang (9,86%), pembelian 24 bidang (33,80%), dan penunjukan 6 bidang (8,45%). Seluruh tanah itu dianggap tanah wakaf, karena secara fungsional dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan umat. Status tanah ada yang HM, HGB, HGU, Letter D dan tanah negara, bahkan ada tanah yang masih dalam sengketa, seperti tanah yang di Watugong yang dimanfaatkan untuk perumahan perwira. Luas tanah per-bidang bervariasi mulai dari 21 M² sampai yang terluas 20.100 M². Lokasi tanah juga tersebar, ada yang di tengah kota dan ada yang di pinggiran kota. Jenis tanah ada yang berupa tanah kosong, seperti pekarangan, tegalan dan perkebunan. Secara umum, tanah yang diwakafkan tidak selalu bisa secara langsung difungsikan untuk tujuan wakaf, karena kondisinya yang tidak memungkinkan.
Wāqif di dalam mewakafkan tanah biasanya semata-mata berniat ibadah, tanpa memperhatikan peraturan dan hukum yang berlaku, administrasi dan status kepemilikan, di samping tidak menyertakan dana untuk biaya penyertifi-katan. Juga, wāqif dalam menetapkan peruntukan wakaf tanpa memperhatikan letak, luas, kondisi dan segi kelayakan, serta tidak disertai dana untuk pembangunan pisik sesuai dengan peruntukan yang diinginkannya. Dalam ikrar wakaf, wāqif biasanya menetapkan peruntukan tanah wakaf secara khusus, seperti untuk masjid, sekolah, madrasah, panti asuhan dan balai pengobatan. Amat sangat jarang sekali dari wāqif yang memberikan keleluasaan kepada nadzir. Sangat jarang sekali, wāqif menyertakan dana untuk merealisasikan peruntukan yang diinginkannya dalam ikrar wakaf.
3. Pendayagunaan Tanah Wakaf Muhammadiyah
Tanah wakaf PDM Kota Semarang sebanyak 71 bidang dengan luas 95.744 M² di atas dimanfaatkan untuk sarana ibadah 8,45%, sarana pendidikan 41, 53%, sarana kesehatan 2,82%, panti asuhan 4,93%, sarana penunjang organi-sasi 11,27%, rumah/bangunan 7,04%, tanah kosong yang sudah direncanakan untuk berbagai sarana 9,86% dan tanah kosong yang belum direncanakan pemanfaatannya ada 14,10%.
Pemanfaatan tanah lebih didorong untuk memenuhi persyaratan minimum pendirian PRM atau PCM sebagaimana yang diamanatkan AD-ART, seperti untuk amal usaha, baik sekolah/madrasah ataupun masjid/mushalla. Atas dasar itu, maka pengelolaan tanah wakaf secara tidak jelas beralih tangan dari Majlis Wakaf ke majlis yang membawahi amal usaha yang memanfaatkan tanah terse-but. Majlis Wakaf tidak memiliki kewenangan lagi untuk pendayagunaannya, apalagi menyalurkan hasil wakaf untuk kepentingan mauqūf ‘alaih.
4. Tinjauan Tujuan Wakaf
Pendayagunaan tanah wakaf oleh Muhammadiyah, seperti untuk sarana pendidikan, ditinjau dari sudut pandang tujuan wakaf secara syar’i, belum terpenuhi. Karena, mauqūf ‘alaih (baca: fakir, miskin dan dluafa) sebagai pihak yang seharusnya paling berhak menerima manfaat wakaf secara langsung belum mengenyam kemanfaatan wakaf, kecuali dari tanah yang digunakan untuk pembangunan masjid dan panti asuhan. Keberadaan sekolah-sekolah Muhammadiyah yang dibangun di atas tanah wakaf tidak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah lain yang dibangun bukan di atas tanah wakaf. Keduanya sama-sama memungut dana pembangunan (istilah lain: dana pembangunan institusi, uang gedung, dll), SPP, sumbangan, infak-infak lain dari siswa.
Memperhatikan kasus di atas, tanah wakaf yang di atasnya berdiri bangun-an untuk sarana selain tempat ibadah dan panti asuhan, menjadi tidak fungsio-nal. Di sana telah terjadi hubungan yang terputus antara tujuan wakaf dan pendayagunaannya. Pendayagunaan seharusnya difungsikan untuk pencapai-an tujuan wakaf, yaitu kemaslahatan bagi mauqūf ‘alaih (baca: fakir, miskin dan dluafa). Mereka itu sebagai pihak yang berhak memperoleh manfaat wakaf.
5. Wakaf Uang Tunai
Berbicara tentang wakaf uang tunai segera memunculkan pertanyaan, apakah mewakafkan uang tunai itu fungsional atau tidak? Pertanyaan ini segera muncul karena syarat mauqūf (barang yang diwakafkan) harus bertahan lama, sedangkan uang berfungsi sebagai alat pembayaran. Begitu uang digunakan untuk membeli suatu barang, apalagi barang itu dikonsumsi, maka nilai uang itu habis, tidak ada bekasnya lagi. Dalam keadaan seperti itu berarti salah satu syarat mauqūf, yaitu barang mampu bertahan lama tidak terpenuhi. Dengan demikian, tidak ada jaminan keberlangsungan pemanfaatan uang. Tetapi kalau uang itu difungsikan untuk investasi, yaitu untuk modal usaha, pasti persoalannya menjadi berbeda.
Menurut perspektif moneter dan perbankan, justeru wakaf dengan uang tunai sangat menarik untuk diperbincangkan. Tentu untuk menetapkan boleh dan tidak-nya wakaf uang tunai dari sisi fikih perlu pembahasan yang mendalam karena menyangkut sedekah jariyah. Siapa orangnya yang rela mengeluarkan uang tunai dengan niat wakaf yang berarti melakukan sedekah jariyah dengan harapan akan menerima pahala tanpa putus-putus sampaipun meninggal dunia, ternyata uang yang diwakafkannya itu tidak bertahan lama karena digunakan untuk sekali pakai. Apakah yang bersangkutan bisa menerima kenyataan itu? Setiap orang dalam meniatkan wakaf uang tunai pasti dimaksudkan sebagai investasi akhirat. Niat seperti itu sah dan manusiawi. Karena itu, menjadi kewajiban kita membahas materi itu secara mendalam sehingga wakaf uang tunai itu diyakini fungsional dan menjamin wāqif memperoleh manfaat dari yang diwakafkannya.
III. Penutup
Kesimpulan
1. Wakaf adalah ibadah yang disyariatkan Allah yang memiliki dimensi sosial sehingga bisa disebut peran wakaf sungguh sangat strategis. Para fakir, miskin dan dlu’afa terangkat oleh syariat wakaf ini.
2. Peran wakaf yang demikian strategis itu sangat ditentukan oleh nadzir dalam mengimplementasi syariat wakaf. Hal itu bisa dilihat pada Era Turki Utsmani, dan dilanjutkan dengan impelemtasinya di Timur Tengah maupun di Indonesia.
3. Pengelolaan wakaf, khususnya di Indonesia belum sesuai dengan tujuan dan sasaran wakaf. Nadzir, yang dalam hal ini dipegang oleh organisasi sosial keagamaan, dalam mengelola dan mendayagunakan wakaf belum optimal, masih terkesan amatiran. Padahal, pengelolaan wakaf tidak bisa dilakukan sambilan, apalagi sambil lalu seperti yang terlihat di lapangan. Kalau Muham-madiyah umpamanya betul-betul menyadari bahwa peranan nadzir yang disandangnya merupakan amanah, maka harus segera membentuk badan usaha yang dipimpin seorang manajer profesional yang secara khusus bertugas mengelola pendayagunaan harta/tanah wakaf.
4. Gagasan untuk memberlakukan wakaf dengan menggunakan uang tunai hendaknya terus menerus dibahas dan dikaji dari segala sisi sehingga begitu diluncurkan betul-betul memberikan manfaat dan maslahah bagi mauqūf ‘alaih dan bagi wāqif sendiri.

Daftar Pustaka
Abdurrahman, , 1994 Eralah Perwakafan Tanah Milik dan Keudukan Tanah Wakaf di Negara Kita Edisi Revisi Cet. Ke-4 PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Abū Zahrah, Muhammad, Muhādlarāt fī al-Waqf Dār al-Fikr al-‘Arabi, tt Cairo.
Al-Alabij, Adijani, 1997 Perwakafan di Indonesia Dalam Teori dan Praktek: PT Raja Grafindo Persada, Ed. 1, Cet. Ke-3 Jakarta.
Amin, Ayoeb, 2000 Wakaf dan Implementasinya, Tesis Magister Semarang: PPs IAIN Walisongo,.
Asyour, M. Tahir, 1978. Māqāsid al-Syarī’ah al-Islāmiyah Société Tunisiènne de Diffusion, Tunis
Al-Farrā, Abu Ya’lā, 1974 Al-Ahkām al-Sulţāniyah Syirkah Maktabah Ahmad b. Saad b. Nabhan, Cet. Ke-3. Surabaya
Al-Gazāli, Abu Hāmid, 1994 Al-Wajīz fī Fiqh Mazhab al-Imām al-Syāfi’ī Dār al-Fikr, Bairūt.
Al-Hanafi, Ibn al-Hamām, Bairūt Syarh Fath al-Qadīr, Juz 6: Cet. Ke-2 Dār al-Fikr, 1977.
Al-Harāni, Ibn Taimiyah, 1329 H Kitāb al-Ikhtiyārāt al-‘Ilmiyah: Maţbaah Kurdistān al-‘Ilmiyah, Cairo.
Al-Jazāiri, Abu Bakr Jabir, 1992 Minhāj al-Muslim: Dār al-Fikr, Bairūt.
Al-Jaşşāş, Kitāb Ahkām al-Qur’ān: Dār al-Fikr, tt Bairūt.
Khalāf, A. Wahāb, 1978 ‘Ilm Uşūl Al-Fiqh Cet. Ke-12 Dār al-Qalam. Cairo.
Al-Kubaisi, Ahmad, 1972 al-Ahwāl al-Syakhşiyah, Juz : Ed.2 Al-Ershad Press, Bahgdad.
Al-Kubaisi, Hamd ‘Ubaid, 1975, Uşūl Al-Ahkām, Cet.ke-1 Dār al-Hūriyah, Bahgdad.
_____________________, 1972 Al-Waqf Baina al-Istibdāl wa al-Ta’bīd, Majalah: Kuliyah al-Imām al-A’dham, I, Baghdad.
Al-Marghināni, Burhanuddin, Al-Hidāyah Syarh Bidāyah al-Mubtadī, Juz 3, Mustofa al-Bāb al-Halabi Co, tt Cairo
Qardlawi, Yusuf al-, 1975 Al-Īmān wa al-Hayāt: Mu’assasah al-Risālah, Bairut.
Qardlawi, Yusuf al-, 1977 Musykilat al-Faqri : Matbaah al-Nahdlah al-Jaidah, Cairo.
Qudāmah, Ibn, 1985 Al-Mughni, Juz 5, Cet. Ke-1. Dār al-Fikr, Bairūt,
Al-Qurtubi, 1966 Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān: Dār al-Qalam, Cairo.
Roestandi, Ahmad dan Effendi, Muchyidin, 1991 Komentar Atas UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama: Nusantara Press, Bandung.
Rofiq, Ahmad, 1998 Hukum Islam di Indonesia: PT Raja Grafindo Persada, Ed.1, Cet. Ke-3. Jakarta
Sābiq, Sayid, 1992 Fiqh al-Sunnah, Jilid 3: Dār al-Fikr, Bairūt.
Al-Sayuti, 1983 Al-Durru al-Manśūr fī Tafsīr al-Ma’śūr: Dār al-Fikr, Bairūt .
Al-San’āni, 1960 Subul al-Salām, Juz 3: Cet. Ke- 4, Dār Ihyā’ al-Turāś al-‘Arabi, Bairūt.
Al-Syatibi, Abū Ishak Ibrahim, Al-Muwāfaqāt fī Uşūl Al-Ahkām, Jil. I & II Dār al-Fikr, tt Bairut.
Zaidān, Abd. Karim, 1969 Al-Madkhal li Dirāsāt al-Syarī’ah al-Islāmiyah: Maktabah al-‘Ani, Cet. Ke-4 Baghdad.
Al-Zarqā’, Mustofa Muhammad, 1965 Al-Madkhal ilā Nadhariyah al-Iltizām al-‘Āmah, fī al-Fiqh al-Islāmi Cet. Ke-6. Dār al-Fikr, Bairūt,

Disunting dari Jurnal Fkultas Hukum Unisula
[1] al-Syatibi, tt.: II/2)
[2] (al-San’ani, 1960: III/88).
[3] Al-Kubaisi, Hamd ‘Ubaid, Uşūl Al-Ahkām, Cet.ke-1 Dār al-Hūriyah, Bahgdad 1972 hal 105.
[4] Ibid
[5] Op. cit hal 107
[6] Op. cit hal 101
[7] Qudāmah, Ibn, Al-Mughni, Juz 5, Cet. Ke-1. Dār al-Fikr, Bairūt, V/ 1985: hal 350.
[8]Al-Marghināni, Burhanuddin, Al-Hidāyah Syarh Bidāyah al-Mubtadī, Juz 3, Mustofa al-Bāb al-Halabi Co, tt Cairo tt hal 13.
[9] Hamad al-Kubaisi: Op. cit 1972 hal 108.
[10] Sābiq, Sayid, Fiqh al-Sunnah, Jilid 3: Dār al-Fikr, Bairūt. 1992: hal 378
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Al-Jauziyah[13] op.cit 1977: I/314
[14] Ahmad al-Kubaisi[14] op.cit 1972: 268
[15] Ahmad Al-Kubaisi op cit [15](1972: 299)
[16] Al-Ghazali 1994: 201
[17] Al-Marghināni, Burhanuddin, Al-Hidāyah Syarh Bidāyah al-Mubtadī, Juz 3, Mustofa al-Bāb al-Halabi Co, tt Cairo tt hal 18
[18] Abu Hamid al-Ghazali[18] 1994: 201
[19] al-Kubaisi[19] op. cit 1972: hal 311
[20] Ibn Qudamah, 1985: V/368-369
[21] Ibnu al-Hamam[21] 1977: VI/228
[22] Chapra, 2001: 173-174
[23] Chapra, 2001: 200-201
[24] (al-Qardlawi, 1977: 134-135)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar